Krisis dalam Pariwisata: Pengelolaan Komunikasi Krisis Kepariwisataan
Pariwisata merupakan sektor yang rentan berhadapan dengan kondisi krisis. Salah satu contoh krisis yang masih lekat dalam ingatan adalah Pandemi Covid-19. Kondisi ini menurunkan mobilitas masyarakat dan berpengaruh pada meredupnya sektor pariwisata dunia. Di Indonesia, pandemi tidak hanya mematikan sektor pariwisata di Indonesia, dampaknya berlanjut pada peningkatan angka pengangguran dan perekonomian masyarakat yang bergantung pada sektor ini.
Krisis adalah kondisi atau peristiwa yang mengancam, tidak dapat diprediksi, dan berdampak negatif pada organisasi, industri, atau pemangku kepentingan apabila tidak ditangani dengan baik. Di sektor pariwisata, kondisi krisis berpotensi mengganggu aktivitas pada ekosistem pariwisata yang saling berhubungan. Krisis juga dapat menyasar ke pemerintah dan pengelola jika tidak diantisipasi sejak awal.
Kondisi krisis di sektor pariwisata dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan karakteristiknya. Krisis pertama adalah reputasi organisasi yang berdampak terhadap lembaga pemerintah karena adanya kesalahan kebijakan atau manajemen. Kedua, krisis ekosistem pariwisata yang biasanya disebabkan oleh faktor eksternal seperti bencana alam maupun non-alam. Kedua kategori krisis tersebut saling berhubungan dan memengaruhi jika salah satunya terjadi.
Kerentanan sektor pariwisata terhadap krisis tidak lepas dari pengaruh persepsi publik. Pariwisata berkaitan erat dengan persepsi yang dipengaruhi oleh interpretasi atas peristiwa atau objek yang diamatinya. Wisatawan memutuskan untuk mendatangi suatu tujuan wisata berdasarkan informasi yang diterima. Secara bersamaan, wisatawan akan mencari informasi seperti akses, atraksi, keamanan, fasilitas, dan hal lain yang mendukung aktivitas wisata. Informasi-informasi tersebut akan terakumulasi dan berhubungan dengan persepsi dan keputusan berwisata.
Persepsi wisatawan juga besar dipengaruhi oleh kondisi krisis kepariwisataan. Kondisi krisis dapat memicu persepsi negatif terhadap sebuah destinasi pariwisata. Jika tidak ditangani dengan baik, dampak krisis akan membesar dan memberikan efek ganda. Misalnya ada destinasi wisata pantai yang tidak memperhatikan faktor keselamatan dan menyebabkan kecelakaan. Kondisi tersebut akan mengurangi minat wisatawan untuk berkunjung dan berdampak ganda pada pelaku wisata serta masyarakat sekitar.
Kondisi krisis kepariwisataan perlu dipandang secara komprehensif dari segi dampaknya. Bukan hanya masyarakat, pemerintah dan pengelola rentan mendapatkan sorotan negatif jika krisis terjadi. Dibutuhkan strategi pengelolaan krisis secara bertahap sesuai dengan besaran krisisnya. Salah satu cara merespons krisis agar tidak menjadi besar dan menghasilkan efek ganda adalah melalui strategi komunikasi krisis.
Komunikasi krisis dapat didefinisikan sebagai langkah pengumpulan, pemrosesan, dan penyebaran informasi atau pesan yang diperlukan untuk menangani situasi krisis. Informasi yang persuasif dan informatif diperlukan untuk menghindari, mengendalikan, dan mengelola kerusakan dari kondisi krisis yang berisiko, mengancam, dan tidak pasti (Seeger & Sellnow, 2019). Implementasi langkah komunikasi krisis dapat dibagi menjadi tiga tahapan antara lain: pra-krisis, respons krisis, dan pasca-krisis. Tahapan ini juga dapat diterapkan dalam pengelolaan komunikasi krisis di sektor pariwisata di Indonesia.
Pada tahap pra-krisis, komunikasi krisis berkonsentrasi pada langkah antisipasi atau pengurangan risiko seperti mitigasi dan siap siaga. Komunikasi krisis tahap pra-krisis berfokus pada persiapan pelatihan orang-orang yang akan terlibat, identifikasi risiko krisis, pertimbangan metode komunikasi, hingga proses pengambilan keputusan.
Implementasinya bisa dalam kegiatan pemantauan kondisi krisis pariwisata, pelatihan stakeholder pariwisata, dan memastikan kesiapsiagaan.
Saat krisis terjadi, tahapan respons krisis dapat segera diberlakukan. Tahapan ini sangat krusial karena memiliki efek atau dampak yang signifikan seperti jumlah korban, kerusakan di destinasi wisata, hingga kerusakan reputasi pemerintah dan pengelola. Respons krisis menekankan kecepatan, keakuratan, dan konsistensi guna memenuhi kebutuhan informasi sesaat setelah krisis. Langkah yang perlu ditempuh pada tahapan ini adalah mengukur risiko krisis, konfirmasi fakta serta data terkait krisis, menyiapkan keterangan resmi melalui media, dan memantau perkembangan informasi krisis.
Tahapan terakhir adalah pasca-krisis yang merupakan masa-masa krisis dianggap atau dinyatakan telah berakhir. Strategi komunikasi krisis lebih kepada pengelolaan efek krisis dan pemulihan reputasi pada tahapan ini. Informasi pada momentum pasca-krisis diperlukan oleh wisatawan, pelaku wisata, dan industri pariwisata yang ingin mengetahui situasi telah normal kembali. Penyebaran informasi di masa pemulihan krisis menentukan terbentuknya citra dan persepsi positif setelah krisis terjadi.
Penerapan strategi komunikasi krisis di sektor pariwisata adalah proses yang dinamis dari waktu ke waktu. Adaptasi menjadi keharusan bagi setiap pemangku kepentingan pariwisata karena perkembangan informasi, kondisi krisis yang berbeda-beda, dan efektivitas komunikasi krisis yang terus dievaluasi. Diperlukan kecermatan, evaluasi, dan pengalaman dalam memahami potensi serta dampak krisis sebagai proses pembelajaran ke depannya.

office
Lina Building, 2nd Floor Unit 211JL. Rasuna Said Kav. B7
South Jakarta 12910 - Indonesia
Workshop
At Braga Tech OfficeJl. Cilaki No.23, Bandung Wetan
Bandung City 40114 - Indonesia