Dapatkah Skema Pembiayaan Obligasi Daerah Menaikkan Perekonomian Daerah ?
Mengapa Pemerintah Daerah Memerlukan Alternatif Pendanaan Pembangunan
Keterbatasan pendanaan menjadi salah satu hambatan utama pembangunan infrastruktur oleh pemerintah daerah. Alokasi belanja pemerintah daerah (pemda) yang cenderung sama setiap tahunnya membuat pemda kesulitan untuk mengalokasikan kegiatan terkait peningkatan pelayanan infrastruktur publik daerahnya, khususnya pada belanja modal pemerintah untuk infrastruktur dengan skala besar.
Pada tahun 2018–2022, rata-rata porsi dana transfer ke daerah (TKD) dari pemerintah pusat terhadap total pendapatan daerah mencapai 83,2%3. Hal ini menandakan daerah memiliki ketergantungan tinggi terhadap TKD dan belum optimalnya pemanfaatan sumber pendanaan lain di luar TKD.
Mencari alternatif sumber pendanaan infrastruktur selain bergantung pada TKD merupakan langkah penting untuk mengatasi keterbatasan pendanaan, meningkatkan fleksibilitas penggunaannya, serta mendorong realisasi pembangunan infrastruktur.
Mengenal Obligasi Daerah
Obligasi daerah adalah surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah daerah untuk mendapatkan dana dari masyarakat atau investor di pasar modal. Penerbitan obligasi ini bertujuan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur atau pelayanan publik yang memiliki manfaat jangka panjang bagi daerah.
Sebagai salah satu instrumen pinjaman jangka menengah atau panjang, obligasi daerah mewajibkan pemerintah daerah membayar kembali pokok pinjaman pada saat jatuh tempo beserta bunga secara periodik kepada pemegangnya. Landasan hukum penerbitan obligasi daerah melibatkan peraturan dari pemerintah pusat terkait keuangan daerah dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Secara umum, dalam penyiapan penerbitan obligasi pemda perlu mempersiapkan unit pengelola khusus untuk mengelola pelaksanaan penerbitan surat utang baik termasuk persiapan segala kebutuhan sebelum melakukan pengajuan registrasi kepada OJK (Pre-filling). Karena berkaitan dengan pendanaan melalui utang, pemda tetap perlu melakukan permohonan pertimbangan kepada pemerintah pusat.
Apabila hasil telaah atas proses registrasi telah disetujui OJK, obligasi akan dicatatkan dalam bursa efek yang dinaungi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) lalu dipublikasikan. Pada proses penawaran umum (penjualan); settlement (akhir transaksi); dan pencatatan obligasi; unit pengelola yang dibentuk pemerintah daerah membutuhkan bantuan agen penjual. Agen penjual, yang biasanya lembaga keuangan seperti bank atau perusahaan sekuritas, memiliki jaringan yang luas untuk menjangkau investor, baik individu maupun lembaga, dan membantu dalam proses penjualan obligasi.
Dana yang didapatkan atas penjualan obligasi kemudian dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan pendanaan terhadap program daerah, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan.
Nantinya secara berkala pemda akan mengalokasikan sebagian APBD untuk pembayaran pokok dan bunga obligasi melalui agen penjual sesuai dengan besaran yang telah disepakati.
Potensi Obligasi dalam Mendanai Infrastruktur Skala Daerah
Kebutuhan skema pendanaan alternatif akan semakin meningkat seiring dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur yang terus bertambah, sementara kapasitas fiskal daerah terbatas. Dengan alternatif skema seperti obligasi daerah, pemerintah daerah dapat lebih mandiri dalam merancang dan melaksanakan proyek-proyek infrastruktur prioritas yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Untuk mendukung hal tersebut, optimalisasi regulasi dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam menerbitkan dan mengelola obligasi daerah menjadi langkah krusial dalam mendukung percepatan pembangunan infrastruktur serta pertumbuhan ekonomi daerah secara berkelanjutan.
Dari sisi investor, obligasi daerah menjadi instrumen investasi yang dinilai cukup aman dan menguntungkan, juga menjadi sarana investor atau publik untuk turut andil dalam kegiatan pembangunan di daerah.
Surat utang negara yang ada saat ini baru diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. namun terdapat beberapa daerah di indonesia memiliki potensi untuk menerbitkan surat utang tersebut. Pada tahun 2023, diketahui United Nations Development Programme (UNDP) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF)4 telah melakukan penilaian terhadap wilayah-wilayah indonesia yang direkomendasikan melaksanakan obligasi daerah.
Berdasarkan peta rating obligasi diatas, diketahui bahwa Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah 2 provinsi dengan rekomendasi tertinggi untuk menerbitkan obligasi daerah. Sementara itu, Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan masuk dalam kategori provinsi yang juga direkomendasikan untuk menerbitkan obligasi daerah.
Penilaian tersebut memperhatikan beberapa indikator seperti penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) Daerah, pertumbuhan ekonomi daerah, kedalaman pasar keuangan, Indeks kapasitas lembaga demokrasi, aspek sosial dan lingkungan, Nilai kemampuan daerah untuk membayar kembali pinjaman (DSCR), Audit BPK (Peringkat Wajar Tanpa Pengecualian), serta tidak adanya tunggakan pinjaman.
Hal ini didukung dengan jumlah pinjaman maksimum (menyesuaikan ketentuan PMK No. 87 Tahun 2024) yang dimiliki Provinsi DKI Jakarta diketahui yang terbesar di Indonesia mencapai Rp.10,3 Triliun dan diikuti oleh Provinsi Jawa Barat sebesar Rp.6,2 Triliun. Siklus aktivitas perekonomian pada Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat tersebut cenderung yang paling besar jika dibandingkan dengan daerah provinsi lainnya di indonesia.
Tantangan dan Risiko Penerbitan Obligasi Daerah untuk Infrastruktur
Kesiapan pengelolaan utang dan sumber daya manusia adalah pertimbangan penting sebelum menerbitkan obligasi daerah. Pemerintah daerah perlu memastikan tata kelola utangnya solid, termasuk ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten dalam mengelola instrumen utang maupun fiskal daerah. Pemerintah daerah harus cermat dalam menjadikan obligasi daerah sebagai opsi pembiayaan. Keputusan ini memerlukan kajian yang mendalam.
Pengelolaan obligasi sebaiknya membentuk unit pengelola baru (debt management unit/DMU) yang membidangi urusan prioritisasi level utang, perencanaan kebutuhan biaya, mengkaji alternatif pembayaran pokok dan bunga, serta kesiapan administrasi penerbitan obligasi daerah.
Penerbitan obligasi daerah memerlukan perencanaan yang matang dan perhitungan yang cermat. Tindakan menerbitkan obligasi secara serampangan atau terburu-buru, tanpa mempertimbangkan dengan saksama kapasitas fiskal daerah, potensi proyek yang dibiayai, serta kemampuan membayar kembali pokok dan bunga, dapat menimbulkan risiko besar bagi keuangan daerah.
Alih-alih menjadi solusi pendanaan, tindakan impulsif ini berpotensi membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada masa depan, mengganggu alokasi anggaran untuk pelayanan publik yang esensial, dan bahkan menjerumuskan daerah ke dalam kesulitan finansial yang berkepanjangan. Oleh karena itu, setiap langkah penerbitan obligasi daerah harus didasarkan pada analisis dan evaluasi yang komprehensif serta tata kelola keuangan yang prudent.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2024 Tentang Tata Cara Penerbitan dan Pembelian Kembali Obligasi Daerah Dan Sukuk Daerah oleh Pemerintah Daerah, nilai obligasi daerah tidak boleh melampaui Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan harus sesuai dengan kemampuan bayar pemerintah daerah saat jatuh tempo. Batasan tersebut krusial untuk menjaga keberlanjutan fiskal.
Lebih lanjut, Total utang pemerintah daerah, termasuk potensi penarikan dana, tidak boleh melebihi 75% dari APBD, dan ini harus menjadi acuan dalam penerbitan obligasi daerah. Batasan ini didasarkan pada kebutuhan riil dan kemampuan membayar.
Selain itu, rasio kemampuan keuangan daerah dalam membayar kembali pinjaman (DSCR) maksimal 2,5%. Batasan ini merupakan indikator penting dalam menilai kelayakan penerbitan obligasi.
Peran Stakeholder Terkait dalam Mendukung Penerbitan Obligasi Daerah
Secara umum, beberapa peran stakeholder terkait penerbitan obligasi daerah dijabarkan dalam tabel berikut.
Kendati belum ada implementasi serupa di lingkup daerah, skema obligasi daerah menjadi salah satu alternatif solusi yang menjanjikan skema pendanaan pembangunan yang lebih fleksibel bagi pemerintahnya. Realisasi potensi ini sangat bergantung pada pemahaman sumber daya pemerintah daerah dan pengelolaan utang, serta dukungan konsultan yang menguasai strukturisasi pendanaan obligasi.



