Main Logo
INSIGHT/INDUSTRIES/INFRASTRUCTURE
DOWN PAYMENT 0% AND ECONOMIC MOMENTUM: THE URGENT SHIFT TOWARD VERTICAL HOUSING FOR THE URBAN MIDDLE CLASS
August 26, 2025
10 Min Read
shareShare
sharePrint
shareDownload

DP 0% dan Daya Dorong Ekonomi: Saatnya Fokus ke Hunian Vertikal dan Kelas Menengah Urban



Ketika Bank Indonesia kembali membuka ruang bagi kebijakan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tanpa uang muka atau DP 0% melalui pelonggaran rasio Loan to Value (LTV) melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/2/PBI/2021 Tahun 2021 yang telah diperpanjang kembali sampai akhir tahun 2025, respons publik cukup antusias. Di tengah tekanan harga rumah dan keterbatasan daya beli, DP 0% dianggap angin segar bagi masyarakat, terutama kelas menengah yang mendominasi populasi urban di Jabodetabek. Kebijakan ini lebih dari sekadar solusi pembiayaan rumah. Ia adalah alat kebijakan makroekonomi yang bila dikelola tepat, dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara luas—namun sebaliknya, jika tidak hati-hati, bisa memperbesar risiko struktural.

Pertama-tama, perlu kita pahami bahwa sektor properti bukanlah sekadar urusan tempat tinggal. Ia adalah sektor padat modal, padat karya, dan memiliki multiplier effect tinggi terhadap industri pendukung seperti konstruksi, semen, baja, keramik, mebel, dan jasa desain. Dengan mendorong akses pembiayaan melalui DP 0%, permintaan terhadap hunian dipacu, dan ini berpotensi meningkatkan investasi di sektor riil. Data Kementerian PUPR menunjukkan bahwa setiap Rp1 triliun belanja di sektor perumahan dapat menciptakan lebih dari 30.000 lapangan kerja langsung dan tidak langsung. Ini adalah potensi yang tidak bisa diabaikan dalam konteks pemulihan ekonomi pasca pandemi dan pelemahan konsumsi rumah tangga.

Namun demikian, efek makro dari kebijakan DP 0% tidak akan positif secara otomatis. Tanpa perencanaan spasial dan segmentasi pasar yang jelas, insentif pembiayaan ini bisa justru memperparah polarisasi kota, penyebaran perkotaan yang tidak terencana dan meluas ke wilayah pinggiran kota (urban sprawl), dan menciptakan tekanan pada infrastruktur kota besar. Di sinilah perlunya menggeser fokus dari sekadar "membuka akses pembiayaan" menjadi "mengarahkan pembiayaan ke pola hunian yang produktif dan berkelanjutan", yakni hunian vertikal di pusat-pusat pertumbuhan kota.

Kelas menengah di Jakarta dan sekitarnya, yang tumbuh pesat dalam dua dekade terakhir, menunjukkan kecenderungan mobilitas tinggi, pola konsumsi digital, dan kebutuhan efisiensi akses kerja. Menyediakan rumah tapak yang murah di pinggiran tidak cukup. Melihat pembiayaan (termasuk DP 0%) ke sektor apartemen menengah kebawah, rumah susun milik, dan mixed-used development yang terintegrasi dengan transportasi publik. Konsep vertical housing bukan hanya respons terhadap keterbatasan lahan, tetapi juga cara menstimulasi pertumbuhan ekonomi perkotaan yang lebih padat, efisien, dan ramah lingkungan.

Pertanyaannya kemudian: bagaimana menilai efektivitas program DP 0% secara makro? evaluasinya harus berbasis pada tiga hal utama.



  1. Peningkatan produktivitas wilayah. Apakah rumah-rumah yang dibeli lewat skema DP 0% berada di wilayah dengan akses transportasi dan pusat ekonomi yang baik? Jika rumah yang dibeli justru mendorong perluasan kawasan tidur (sleeping suburbs), maka efek ekonominya akan netral atau bahkan negatif.

  2. Kontribusi terhadap stabilitas keuangan. perlu melihat apakah lonjakan permintaan dari DP 0% menciptakan risiko kredit baru. BI memang telah membatasi program ini hanya untuk bank sehat dan debitur berkualitas, tapi dalam praktik, euforia pasar bisa mendorong ekspansi kredit yang longgar. Rasio debt-to-income (DTI) harus jadi alat pengawasan utama, bukan sekadar LTV.

  3. Penciptaan nilai jangka panjang. Apakah pembiayaan ini mendorong pengembangan kawasan terintegrasi, atau justru mengulangi pola lama: rumah murah di tempat jauh, tanpa infrastruktur, yang cepat ditinggalkan?

 

Dalam konteks ini, program DP 0% harus difokuskan pada hunian vertikal terjangkau di zona urban yang terhubung dengan angkutan publik massal (BRT, MRT, dan/atau LRT). Pemerintah pusat dan daerah bisa mengarahkan subsidi, insentif pajak, atau kemudahan perizinan kepada pengembang yang berani masuk ke segmen ini. Perbankan perlu diberi pedoman makroprudensial yang mendorong pembiayaan berbasis kawasan dan profil demografis, bukan semata-mata proyek.

Ketersediaan lahan dan tingginya harga tanah menjadi hambatan serius dalam pembangunan hunian vertikal terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah (MBR). Data BPS menunjukkan kesenjangan antara jumlah rumah yang tersedia dengan jumlah rumah yang dibutuhkan (backlog) perumahan masih mencapai sekitar 12,75 juta unit, sementara hanya 63,15% keluarga yang tinggal di rumah layak huni. Di sisi lain, harga tanah di lokasi strategis seperti sekitar MRT Lebak Bulus sudah menyentuh Rp30 juta/m2, naik dari Rp25 juta/m2 pada tahun 2018, sehingga biaya total pembangunan satu unit hunian vertikal bisa mencapai Rp300 juta. Kondisi ini diperburuk oleh fakta bahwa sejak 2010 harga tanah di Jakarta tumbuh rata-rata 16% per tahun, lebih tinggi dibandingkan kenaikan upah riil yang hanya sekitar 10% per tahun.

Kita juga perlu membangun indeks efektivitas program DP 0%, yang tidak hanya mengukur jumlah unit yang terjual, tetapi juga dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi lokal, efisiensi ruang kota, dan kemampuan bertahan hunian tersebut dalam jangka panjang.

Pada akhirnya, kebijakan DP 0% bukan semata-mata tentang "membeli rumah tanpa uang muka", tetapi soal bagaimana menggunakan instrumen kredit untuk mendorong arah pembangunan kota dan ekonomi. Jika kita mampu menyelaraskan pembiayaan dengan kebutuhan kelas menengah urban yang tumbuh dinamis, serta mengarahkan insentif ke model hunian vertikal yang terintegrasi, maka DP 0% bisa menjadi katalis pembangunan ekonomi baru, bukan sekadar insentif populis jangka pendek.

 

Have questions or need assistance?
Main Logo
office
Lina Building, 2nd Floor Unit 211
JL. Rasuna Said Kav. B7
South Jakarta 12910 - Indonesia
Workshop
At Braga Tech Office
Jl. Cilaki No.23, Bandung Wetan
Bandung City 40114 - Indonesia