Efisiensi Anggaran 2025: Ancaman Pertumbuhan Ekonomi
Kebijakan pengeluaran pemerintah merupakan instrumen kunci dalam kebijakan fiskal yang digunakan untuk mengintervensi perekonomian. Melalui kebijakan ini, pemerintah mengalokasikan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan publik, seperti belanja barang, belanja modal, bantuan sosial, dan hibah. Pengeluaran pemerintah tidak hanya berperan dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi juga menjadi komponen penting dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Secara matematis, PDB dirumuskan sebagai Y = C + I + G + (X-M), di mana G (pengeluaran pemerintah) mencerminkan kontribusi langsung pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Teori Klasik Keynes menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menstabilkan dan memaksimalkan pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan moneter (seperti pengaturan suku bunga dan jumlah uang beredar) dan kebijakan fiskal (melalui perpajakan dan belanja pemerintah). Kebijakan fiskal, khususnya pengeluaran pemerintah, menjadi alat utama untuk mengelola perekonomian, terutama dalam situasi di mana mekanisme pasar tidak mampu menyediakan barang dan jasa publik secara memadai.
Untuk mencapai target peningkatan PDB, pemerintah dapat mengatur alokasi dan tingkat pengeluaran negara. Misalnya, dengan meningkatkan pengeluaran di sektor- sektor tertentu, pemerintah dapat mendorong penciptaan lapangan kerja menuju full employment. Jika penerimaan negara tidak mencukupi, pemerintah dapat menerapkan defisit anggaran. Teori Keynesian menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh besarnya pengeluaran konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi, dan net ekspor. Persamaan Y = C + I + G + (X-M) menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah (G) berkontribusi langsung terhadap pendapatan nasional (Y). Dengan membandingkan nilai G terhadap Y dari waktu ke waktu, dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional.
Pada 22 Januari 2025 lalu Presiden Prabowo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 (Inpres 1/2025). Dalam poin kedua huruf a bahwa perlu adanya pemangkasan anggaran yang dilakukan oleh sejumlah Kementerian/Lembaga sebesar Rp256,1 triliun. Sementara itu, pada poin ketiga angka 2 dijelaskan bahwa pemotongan anggaran belanja meliputi belanja operasional dan non operasional yang sekurang- kurangnya terdiri dari belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin.
Pemotongan anggaran tentunya perlu didukung dengan mempertimbangkan analisis yang tepat dan mengukur implikasi yang ditimbulkan akibat tindakan tersebut. Mengingat potensi korupsi dalam penggunaan anggaran yang cukup tinggi, penting untuk mengidentifikasi anggaran mana yang memiliki risiko tinggi terjadinya korupsi. Namun, keluarnya Inpres 1/2025 patut diduga tanpa adanya evaluasi terhadap efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran, misal anggaran pertemuan yang memboroskan belanja negara, pembelian peralatan yang tidak memiliki urgensi keterpakaian, atau pembayaran insentif bagi pejabat publik dari struktur yang gemuk. Selain itu, patut diduga pemangkasan anggaran tidak melalui proses analisis yang komprehensif dan analisis dampak yang ditimbulkan dari kebijakan efisiensi anggaran
Pertama pemangkasan anggaran dilakukan secara tidak transparan sehingga berpotensi menghambat akses layanan dasar warga. Selain itu, kebijakan efisiensi ini tidak melalui evaluasi penggunaan anggaran tahun sebelumnya. Evaluasi penggunaan anggaran secara ideal digunakan untuk mengidentifikasi komponen mana yang tidak tepat sasaran. Tanpa adanya evaluasi, kebijakan efisiensi anggaran ini berpotensi akan memengaruhi layanan publik dan dapat berimplikasi terhadap maladministrasi 1.
Kedua, kebijakan pemangkasan anggaran tidak melalui proses analisis kebermanfaatan, terutama belanja pengadaan di Kementerian/ Lembaga yang tidak relevan dengan masyarakat. Meskipun telah ada kebijakan yang telah dikeluarkan sejak 22 Januari lalu.
Dampak efisiensi ini terasa terutama pada kaum menengah, yang sering paling terdampak perubahan kebijakan. Beberapa efek negatif yang muncul antara lain:
-
Efek Efisiensi, perputaran dunia usaha di indonesia masih mengandalkan pekerjaan dari sektor pemerintahan, dengan adanya efisiensi, menjadi multipier effect kepada dunia usaha yang bergandung kepada goverment spending yang telah dianggarkan di tahun 2025 contohnya adalah banyak hotel dan sektor jasa lainnya yang terdampak karena pemangkasan perjalanan dinas dan proyek pemerintah. Ini berpotensi menurunkan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di daerah yang sangat bergantung pada dana APBN dan APBD
-
Efek selanjutnya adalah gelombang PHK untuk tenaga honorer dan pekerja di industri yang bergantung pada anggaran negara, hal ini menjadi katalis melemahnya kemampuan ekonomi kaum menengah
-
Perputaran perekenomian di sektor menengah juga mengalami kelesuan, akibatnya masyarakat menengah lebih banyak menyimpan harta pada aset real (emas dan properti) dibanding melakukan spending untuk kebutuhan konsumsi
-
Efek lanjutan adalah Menurunya persepsi publik terhadap pemerintah karena terjadinya penurunan ekonomi dan Menurunkan kepercayaan Investor asing karena ketidakstablian ekonomi di indonesia
-
Disisilain,alokasianggaranuntuksektorpertahanan,kepolisian,danintelijen tidak mengalami pemotongan yang signifikan. Hal ini memunculkan pertanyaan publik mengenai prioritas pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara
Kondisi ini memicu kritik dari mahasiswa yang diwujudkan dalam gerakan demonstrasi dengan tagar #IndonesiaGelap, yang mencerminkan kekhawatiran mereka terhadap masa depan suram akibat pendidikan dan kesehatan yang tidak terjamin, ekonomi yang melemah, serta sistem politik yang korup, sehingga pemerintah dituntut untuk tidak hanya fokus pada efisiensi anggaran, tetapi juga memberikan solusi konkret yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan pembangunan nasional.
Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran patut diduga bertujuan hanya untuk membiayai sektor keamanan. Padahal, anggaran yang dialokasikan terlalu besar untuk sektor keamanan akan meningkatkan potensi represifitas oleh aparat keamanan dan memperburuk kekerasan terhadap warga sipil. Selain itu, studi yang sama menunjukan bahwa saat pemerintah membeli alat keamanan dalam jumlah yang besar, maka aparat keamanan akan memiliki kecenderungan untuk menggunakan kekuatan secara berlebih. Terlebih mekanisme akuntabilitas di Indonesia cenderung lemah sehingga membuka peluang korupsi yang sangat tinggi.





office
Lina Building, 2nd Floor Unit 211JL. Rasuna Said Kav. B7
South Jakarta 12910 - Indonesia
Workshop
At Braga Tech OfficeJl. Cilaki No.23, Bandung Wetan
Bandung City 40114 - Indonesia